NATAL SEBAGAI MOMENTUM PEMBAHARUAN

 

Desember telah tiba. Dentang-denting lonceng Gereja kembali bergema memanggil kita untuk masuk ke dalam gedungnya dan melaksanakan berbagai macam prosesi perayaan dan ibadah. Semua itu menjadi bentuk pengejewantahan sukacita memperingati kelahiran Juruselamat.
Tulisan ini sedikit mengulik akan Natal itu sendiri. 
2023 Tahun yang lalu, Sang Pembaharu kehidupan itu lahir disebuah kandang domba di sudut kota Betlehem nan sunyi. Yesus Kristus lahir dikandang domba yang tentu jauh dari kata bersih, berbau, bahkan hina bukan disebuah diranjang "springbed" penginapan atau rumah, atau di atas kasur empuk rumah sakit mewah yang dilengkapi pendingin atau penghangat ruangan (sesuai kebutuhan). Yesus tidak dibungkus dengan selimut tebal nan hangat, melainkan dengan lampin yang belum tentu benar-benar menghangatkan tubuhnya. Orang Majus dari Timur datang dengan petunjuk bintang datang mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur. Mereka berjalan dalam kesunyian dan datang bergabung bersama para gembala untuk melihat dan menyaksikan bahwa seorang Raja telah lahir. Tak ada gegap gempita manusia yang bersorak karena bahagia melihat seorang Raja baru telah lahir kecuali Yusuf, Maria, Orang Majus, dan Para Gembala. Begitu sendu dan sunyi. Dapat disimpulkan bahwa kedatangannya adalah titik paradoks dari kehidupan modern saat ini yang semakin hari semakin pongah. Pertanyaan menarik, mengapa Yesus lahir dalam keadaan seperti itu? Padahal Ia adalah Raja yang termasyur dan lahir dalam rangka penyelamatan.
Jawabannya adalah Kontemplasi. Ia menginginkan kepada kita bahwa peringatan kelahirannya digunakan untuk berkontemplasi panjang atas apa yang sudah kita lakukan. Ia menginginkan kita melakukan pembaharuan. Natal itu sendiri adalah pembaharuan. Pembaharuan yang terjadi karena keikhlasan cinta padaNya, pembaharuan yang lahir dari kontemplasi.
Kontemplasi atas sikap primordialisme kita yang banyak merugikan persekutuan dan mengubahnya menjadi semangat kesatuan dan mempersatukan tanpa sekat etnis atau ras bahkan rasa kedaerahan.
Kontemplasi atas perilaku korupsi kita yang banyak merugikan kemaslahatan umat, dan bahkan diri kita sendiri dan mengubahnya menjadi sikap jujur dan bertanggungjawab atas segala hal yang kita lakukan dan percayakan.
Kontemplasi atas sikap egosentrisme kita yang begitu kuat sehingga karena keegoisan itu menjadi pemicu perpecahan umat dan bangsa. Sikap egosentrisme ini menjadi penghalang kolaborasi yang sangat dibutuhkan dewasa ini.
Kontemplasi atas keegoisan kita karena sering mementingkan kelompok dan paham sehingga merusak sendi-sendi komunikasi antar sesama dan menjadi bara dalam sekam yang bisa saja menjadi cikal bakal kerusuhan dan perpecahan dikemudian hari.
Kontemplasi atas sikap bersungut-sungut atas keadaan yang kita alami dan bermaksud menyalahkan Tuhan atas kejadian tersebut. Padahal secara tidak sadar, kita begitu menikmati apa yang diberikan Tuhan dalam kehidupan dan lupa mengundang roh kudus untuk bekerja dalam hati dan pikiran kita agar senantiasa menghadirkan sukacita.
Kontemplasi atas sikap dan perasaan kebencian yang terus dipupuk subur di dalam hati terhadap sesuatu maupun sesama kita yang mungkin saja ia tak sadar dan tidak mengetahui mengapa ia begitu dibenci oleh kita. Sadarkah kita begitu banyak kekurangan yang ada pada diri kita? Yang bisa menjadi potensi orang lain untuk mencela kita.
Kontemplasi atas minimnya sikap kepedulian terhadap kondisi bangsa kita yang sangat perlu kita pikirkan agar pada suatu masa kita dapat menciptakan sebuah kerelawanan untuk berbuat sesuatu bagi bangsa. Minimal melakukan yang terbaik atas peran yang diberikan kepada kita saat ini.
Serta berbagai kontemplasi lain yang menggambarkan paradoks kehidupan antara yang baik dan buruk yang memicu terjadinya banyak pembaharuan dalam kehidupan. Natal adalah revolusi diri, Natal adalah pembaharuan.

Selamat Natal.

Comments

Popular Posts