RANTE BALLA TEMPO DULU

RANTE BALLA TEMPO DULU

A.    Rante Balla Secara Geografis

Secara geografis wilayah Desa Rante Balla terletak pada koordinat 03̊ 14’ 60, 00’’ LS sampai dengan 03̊ 18’ 0,01” LS 120̊ 12’ 52,39’’ BT, dan secara administratif termasuk bagian dari Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu. Sebelah utara berbatasan dengan Desa  Tabang dan Desa Pangi, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tobaru dan Kecamatan Bupon, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Boneposi dan Desa Tobaru, dan Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.[1]

Gambar 1. Wilayah Desa Rante Balla

Sumber : Google Earth

 

Desa Rante Balla berjarak 36 km dari Ibu kota Kabupaten Luwu, yaitu Belopa. Desa Rante Balla sendiri merupakan salah satu dari 12 desa yang berada di Kecamatan Latimojong. Desa Rante Balla membawahi lima dusun, yaitu Dusun Padang, Dusun Lo’ko, Dusun Rante, Dusun Nase, dan Dusun Minanga. Dusun Minanga merupakan ibu kota desa dan menjadi pusat pemerintahan Desa Rante Balla.[1]

Pada masa pemberontakan DI/TII, Rante Balla tidak berstatus sebagai desa tetapi berstatus sebagai salah satu distrik yang berada di bawah pemerintahan swapraja Luwu.[2] Status Distrik Rante Balla berakhir sejak tahun 1959 mengikuti surat keputusan Gubernur dan membuat Rante Balla berubah status menjadi sebuah desa di bawah naungan Kecamatan Bassesangtempe (Bastem). Dan setelah Kecamatan Bassesangtempe kembali dimekarkan maka Desa Rante Balla berada di bawah naungan Kecamatan Latimojong.[3]

“Sekarang sesuai dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959, dibubarkanlah status swapraja dan neo-swapraja di seluruh Sulawesi Selatan dengan membentuk 13 Daerah Tingkat II. Dan yang terakhir sekali, sebagai lanjutan dari pada Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 tersebut di atas, maka berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Sulselra tanggal 16 Agustus tahun 1961 No. 1100, dan Surat Keputusan pejabat yang sama tanggal 19 Agustus 1961 No. 2067 A dibubarkanlah semua distrik di seluruh Sulselra menjadi 186 dengan status Kecamatan”.[4]

 

Berdasarkan data pada tahun 2012, “luas wilayah Desa Rante Balla yaitu 112,12 km2”. Dari tabel yang akan ditampilkan, kita akan menemukan informasi bahwa Desa Rante Balla adalah desa yang paling luas wilayahnya diantara desa yang lain di Kecamatan Latimojong.

 

Tabel 1 :Luas Desa/Kelurahan Dan Jarak Dari Kota Kecamatan Latimojong Tahun 2012.

 

No

Desa

Luas (Km2)

Persentase Luas

Jarak Ke (Km)

Ibu Kota

Kecamatan

Ibu Kota

Kabupaten

1

Lambanan

26,30

5,62

18

46

2

Buntu Serek

46,59

9,96

14

44

3

Pajang

19,25

4,12

14

44

4

Kadundung

46,36

9,91

16

26

5

Tobaru

30,85

6,60

16

26

6

Ulusalu

19,56

4,18

9

43

7

Boneposi

11,08

2,37

15

44

8

Rante Balla

112,13

23,97

17

36

9

Pangi

77,34

16,53

46

45

10

Tabang

49,29

10,54

25

41

11

Tibussan

20,52

4,39

17

46

12

Tolajuk

8,48

1,81

17

45

Jumlah

467,75

100,00

 

(Sumber: Kecamatan Latimojong dalam Angka 2012)

 

            Desa Rante Balla berada di daerah pegunungan Latimojong yang membelah mulai dari daerah Kabupaten Sidrap hingga Kabupaten Toraja Utara. Karena berada di daerah pegunungan tentu saja iklimnya sangat sejuk. Dan iklim ini sangat cocok untuk perkebunan. Selain itu, terdapat sungai-sungai yang beraliran deras yang melintasi daerah ini. Jika dimanfaatkan dengan baik, Rante Balla mempunyai salah satu potensi pariwisata yaitu sangat cocok menjadi salah satu tempat yang baik untuk berolahraga air seperti arung jeram.

Gambar 2. Suasana Desa Rante Balla

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2018/06/23/emas-di-kaki-latimojong-berkah-atau-petaka/

 

Ketika penulis melakukan penelitian, akses jalan menuju ke desa Rante Balla tergolong sangat tidak baik. Sebab perjalanan sejauh 36 km yang biasa ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor hanya selama 30 menit, tetapi jika menuju Rante Balla kita harus menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam perjalanan. Hal ini terjadi akibat kondisi jalan yang rusak dan berlumpur disamping itu medan jalan yang menanjak menambah sulitnya perjalanan menuju ke daerah ini. Tetapi, akses jalan menuju ke desa Rante Balla sudah dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan roda empat. Apalagi di tahun 2020 ini sudah lebih baik dibanding pada saat penulis melakukan penelitian.

Pada masa pemberontakan DI/TII, daerah Rante Balla menjadi daerah yang penting bagi pasukan gerombolan maupun TNI oleh karena daerah ini menjadi daerah yang strategis yang dapat dijadikan markas pasukan. Hal ini didukung oleh letak Rante Balla yang mudah diakses dan menjadi pintu masuk dari berbagai daerah yang ada di sekitarnya yaitu daerah Enrekang, Toraja, maupun Luwu. Hal ini akan memudahkan mereka dalam melakukan pengintaian musuh maisng-masing. Mudah untuk mengawasi pergerakan pasukan TNI bagi gerombolan dan memudahkan operasi penumpasan gerombolan bagi pasukan TNI.

A.    Asal Mula Nama Rante Balla

Pemberian nama terhadap sebuah daerah tentu mempunyai kisah atau cerita tersendiri. Pemberian nama daerah biasa dilandaskan atas beberapa hal, yaitu kejadian yang menimpa atau terjadi di daerah tersebut di masa lampau, letak geografis, kondisi topografi daerah, ataupun landasan-landasan lain yang tentu terdapat kaitannya dengan daerah tersebut. Nama sebuah daerah bisa saja dijadikan sebagai sebuah bentuk monumen peringatan yang merupakan akumulasi dari semua landasan-landasan atau motivasi pemberian nama daerah tersebut. Rante Balla memiliki cerita sehingga tersematkan menjadi nama sebuah daerah.

Daerah Rante Balla yang berada disekitar pegunungan Latimojong beratus tahun yang lalu merupakan sebuah hutan rimba yang tidak terhuni oleh manusia. Daerah hutan rimba ini hanya dihuni oleh satwa-satwa liar seperti anoa, babi hutan, ular, rusa, maupun satwa lainnya. Dari keadaan geografis yang demikian memang sangat memungkinkan daerah ini menjadi tempat perburuan.

Di daerah Duri hidup sepasang suami istri yang bernama Puang Rilembong dan Bulawenna. Pada suatu saat Puang Rilembong bersama pengawalnya yaitu Pong Sundang, Samboaling serta anjing pemburunya melakukan perburuan ke daerah pengunungan Latimojong. Menurut R. Tambuku di dalam dokumen pribadinya “Puang Rilembong beserta pengawal dan anjing pemburunya berlari ke laut mengikuti sepotong kayu dan tiba di kaki Gunung Latimojong bagian Timur. Setelah lelah Puang Rilembong pun duduk beristirahat”.[1] Ada begitu banyak versi mengenai asal mula masyarakat rante Balla. Tetapi dari sumber yang ada, disebutkan bahwa berasal dari daerah Duri yang saat ini menjadi wilayah administratif Kabupaten Enrekang.

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3. Wilayah Baraka (Duri), Kabupaten Enrekang.

Sumber : Google Earth

 

Pada waktu melakukan perburuan tersebut istri Puang Rilembong yaitu Bulawenna dalam kondisi mengandung. Pada saat Puang Rilembong beristirahat, dia beserta pengawalnya membuka lahan baru untuk berkebun dan bermukim dengan membakar rumput-rumput dan bambu yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Mereka menggarap tanah tersebut dan menanam berbagai macam sayur-sayuran. Tanaman yang mereka tanam  tersebut tumbuh dengan subur.[2]

Nama Balla pun disematkan kepada daerah ini, hal ini menurut penulis mungkin didasari oleh karena pada saat membuka daerah tersebut daerah ini dibakar terlebih dahulu. Sedangkan di dalam bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Rante Balla kata “balla” ini berarti “terbakar”.

Sedangkan nama Rante disematkan kepada daerah tersebut karena daerah yang dibakar, permukaannya rata walaupun berada di kawasan pegunungan. Selain itu tanah yang ada di daerah tersebut sangatlah subur. Sehingga daerah rata yang rata dan subur yang dibuka dengan cara dibakar tersebut diberi nama Rante Balla yang sampai saat ini masih menjadi nama kampung yang ada di daerah tersebut.[3]

Puang Rilembong berserta pengawal dan anjing pemburu tersebut terus melakukan perburuan dan bercocok tanam. Jika Puang Rilembong mendapatkan buruan, dia pun mengirim beberapa bagian hasil buruannya itu kepada istrinya yang mengandung tersebut dengan perantaraan anjing pemburu yang dimilikinya.[4]

Waktu terus berlalu dan Bulawenna yang menunggu dengan kecemasan karena Puang Rilembong yang tak kunjung pulang, berniat menyusulnya ke daerah tempatnya berburu. Diapun berjalan menyusuri hutan dengan kawalan dan petunjuk dari anjing pemburu Puang Rilembong yang akan kembali ke daerah tempat perburuan setelah membawa makanan kepada Bulawenna.[5]

Di tengah perjalanan di dalam hutan rimba, tibalah saatnya Bulawenna ingin melahirkan dan dia pun melahirkan seorang bayi perempuan. Karena usianya yang baru lahir dan tidak memungkinkan untuk dibawa di dalam perjalanan, bayi tersebut diletakkan di dalam periuk lalu digantung dengan menggunakan akar kayu di atas pohon rindang yang ditumbuhi banyak akar gantung yang mengandung air. Selama ditinggalkan oleh ibunya, bayi tersebut mengkonsumsi tetesan air yang berasal dari akar kayu yang diletakkan sedikit berada di atas badan bayi tersebut yang tepat mengarah ke mulutnya.[6]

Bulawenna yang terus melakukan perjalanan dalam rangka mencari suaminya tersebut akhirnya berhasil bertemu dengan Puang Rilembong. Puang Rilembong menanyakan anak yang baru dilahirkan oleh istrinya tersebut dan Bulawenna pun mengarahkan bahwa bayi tersebut berada di daerah Lo’Ko’ Susu (daerah Rante Balla). Puang Rilembong bersama pengawalnya menghampiri dan menemukan bayi tersebut dan menamainya Sairi’na.

Seiring berjalannya waktu, Sairi’na terus tumbuh dewasa dan menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Hingga tiba suatu saat dia bertemu seorang laki-laki yang juga berburu di daerah Rante Balla yang bernama Emba Bulan. Emba Bulan yang berasal dari daerah Pangi ini menikah dengan Sairi’na dan menghasilkan keturunan yang menjadi keturunan pertama orang Rante Balla. Dari pernikahan ini Sairi’na melahirkan delapan orang anak, yaitu: [7]

1.      Lilik setelah dewasa bermukim di Rante Balla

2.      Manya setelah dewasa bermukim di Bone Lemo

3.      Bentuintana setelah dewasa bermukim di Ponrang

4.      Darusa setelah dewasa bermukim di Bolong (Walenrang)

5.      Sandawalang setelah dewasa bermukim di Larompong

6.      Tinoring setelah dewasa bermukim di Pantilang

7.      La’tuka  setelah dewasa bermukim di Sangalla’

8.      Irik setelah dewasa bermukim di Lembong (Duri)

B.       Kehidupan Masyarakat Rante Balla

a.   Bidang Pemerintahan

Pada Tahun 1950, setelah Negara Indonesia Timur (NIT) bubar maka pemerintah Republik Indonesia kembali berkuasa dan mengambil alih pemerintahan. Dibubarkannya NIT tentu memberi imbas terhadap model pemerintahan yang ada di Indonesia. Sistem pemerintahan di daerah Luwu dikenal sebagai pemerintahan swatantara/swapraja dan juga Kepala Pemerintah Negeri (KPN) sebagai perpanjangan tangan kuasa tentara pada saat itu. Pemerintah Swapraja, rajanya adalah Datu Luwu Andi Djemma sebagai Kepala Pemerintah Republik Indonesia tetapi pelaksana harian dipegang oleh KPN. KPN terbagi menjadi tiga, yaitu KPN Palopo yang dengan pimpinan pada saat itu W.L.Tambing, KPN Masamba dengan pimpinan L. Lethe, dan KPN Makale dengan pimpinan Ch. Rongre.[8]

Rante Balla yang terletak terletak di Palopo Selatan merupakan salah satu dari beberapa distrik yang ada di daerah tersebut.[9] Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik dan dibantu oleh seorang juru tulis.[10] Adapun beberapa nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Rante Balla yaitu Pasande, Palallo, Malasui, Bae’ Pasande, Tiampawa, dan A. L. Kanna. Pada saat peristiwa Rante Balla terjadi, yang menjabat menjadi Kepala Distrik Rante Balla adalah A.L. Kanna sedangkan yang menjabat sebagai juru tulis adalah M.L. Rante. Mereka menjabat hingga masyarakat Rante Balla berada di Rantai Damai.[11]

Distrik Rante Balla pada saat itu membawahi 14 kampung yang terdiri atas Kampung Tana Lobo’, Kampung Nase, Kampung Lemo, Kampung Marua, Kampung Lo’ko, Kampung Pa’bela, Kampung Tabang, Kampung Boneposi, Kampung Ulusalu, Kampung Buntu Karua, Kampung Buntu Aruan, Kampung Tibussan, Kampung Paragusi, dan Kampung Makalua. Adapun kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung yang dibawahi langsung oleh kepala distrik.[12]

b.   Mata Pencaharian

Manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Entah yang sifatnya kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Begitu pun dengan masyarakat Rante Balla selalu melakukan segala sesuatu yang sifatnya memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pekerjaan yang ada sesuai dengan kemampuan masing-masing masyarakat maupun ketersediaan yang ada di alam.

Pada umumnya masyarakat Rante Balla sebelum terjadinya peristiwa Rante Balla, menggantungkan hidupnya kepada apa yang sudah disediakan oleh alam. Digambarkan bahwa masyarakat Rante Balla hidup dalam makmur dan sejahtera dengan kekayaan alam yang ada.[13]

Mata pencaharian masyarakat Rante Balla mayoritas hidup bertumpu pada sektor pertanian dengan bertani, beternak, maupun berladang. Dalam bidang pertanian, masyarakat mengandalkan hasil pertaniannya lewat sawah tadah hujan. Padi yang ditanam pun adalah jenis padi ladang yang cocok untuk keadaan tersebut. Tetapi beberapa masyarakat yang lain ada juga yang menanam tanaman jagung atau kopi yang memang cocok untuk iklim pegunungan yang ada di daerah tersebut. Dalam bertani atau berladang masyarakat cenderung berhuma. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tanah yang lebih subur yang tentu akan mempengaruhi hasil yang akan didapatkan dari hasil bertani atau berladangnya.

Dalam bidang peternakan, masyarakat lebih dominan beternak sapi, kerbau, babi, dan kuda. Tak jarang ada masyarakat yang bahkan mempunyai 60-100 ekor kerbau. Sedangkan beberapa yang lain juga memelihara kuda yang digunakan sebagai alat transportasi. Selain sektor pertanian, beberapa masyarakat yang lain memanfaatkan kandungan emas yang ada di daerah itu dengan menjadi pendulang. Proses pendulangan emas yang dilakukan sifatnya masih tradisional.[14]

c.         Pelapisan Sosial Masyarakat

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang tinggi terhadap hal-hal tertentu akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lain.

“Selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat”[15]

            Adapun pelapisan sosial masyarakat Rante Balla, yakni :

a.       Parengnge’

b.      Tomatua

c.       Bunga’ Lalan

d.      Panganta’

Kelompok Parengnge’ menempati tempat tertinggi dalam pelapisan sosial masyarakat Rante Balla dan menjadi pemimpin di dalam masyarakat adat yang dipimpinnya. Golongan kedua yaitu Tomatua yang dimaksud adalah orang-orang yang bertindak sebagai dewan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah atau perkara adat. Suatu perkara tidak dapat diputuskan apabila tomatua tidak hadir. Tomatua juga bertugas sebagai juru bicara. Golongan ketiga yaitu Bunga’ Lalan yang berperan sebagai penanam pertama jika akan mulai menggarap sawah. Golongan ini juga yang berhak makan pertama kali apabila diadakan pesta panen. Golongan yang keempat yaitu Panganta’ yang berperan sebagai pembawa bibit yang nantinya akan ditanam oleh Bunga’ Lalan. Susunan lapisan sosial masyarakat dalam menjalankan perannya tak dapat diganti atau ditukar.[16] Tetapi, beberapa pemuka adat Rante Balla mengatakan bahwa golongan Panganta’ tidak ada dalam struktur pelapisan sosial masyarakat. Dan tentu, perlu kajian yang komprehensif di masa mendatang untuk melakukan kroscek terhadap pelapisan ini. Dari catatan tulisan tangan Lalong Langi Pasande penulis juga mendapatkan bahwa dalam struktur masyarakat adat Rante Balla, terdapat juga golongan Anak To Patalo yang merupakan anak dari bangsawan Rante Balla.[17] Secara spesifik, belum secara jelas penulis mendapatkan informasi bagaimana peranyang dijalankan oleh golongan ini.

Karena masyarakat Rante Balla adalah masyarakat adat, tentu dalam pembagian wilayah dalam memfungsikan peranan adat tersebut memiliki wilayah masing-masing. Berikut gambaran wilayah keparengesan di Rante Balla.[18]

a.       Masyarakat adat keparengesan Tabang dan Lantio yang terletak dibagian utara Rante Balla.

b.      Masyarakat adat keparengesan Lemo dan Kandeapi yang terletak dibagian tengah Rante Balla.

c.       Masyarakat adat kemadikaran Ulusalu yang terletak dibagian selatan Rante Balla.

d.      Masyarakat adat keparengesan Ke’pe dan Sikapa yang terletak dibagian tengah dan utara Rante Balla.

d.        Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Rante Balla dalam kehidupan beragamanya sangatlah tekun dan saling rukun satu sama lain. Secara umum, agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Rante Balla yaitu Agama Kristen Protestan, Agama Islam, dan Kepercayaan Aluk Todolo. Dari 14 kampung yang ada di Rante Balla, tujuh kampung yaitu Kampung Tana Lobo’, Kampung Nase, Kampung Lemo, Kampung Marua, Kampung Lo’ko, Kampung Pa’bela, Kampung Tabang, mayoritas beragama Kristen Protestan. Sedangkan tujuh kampung yang lain yakni Kampung Boneposi, Kampung Ulusalu, Kampung Buntu Karua, Kampung Buntu Aruan, Kampung Tibussan, Kampung Paragusi, dan Kampung Makalua mayoritas beragama Islam. Sisa masyarakat yang tidak beragama menganut kepercayaan Aluk Todolo.[19]

Disadur dari Buku "Rante Balla Kepingan Mozaik DI TII di Tana Luwu" Karya Ines Pradhana Ruso. Penerbit Stars Lub

Comments

Popular Posts