Pengantar Sejarah
Sejarah dan Prasejarah
Dulu, penelitian tentang sejarah terbatas pada penelitian atas catatan
tertulis atau sejarah yang diceritakan. Akan tetapi, seiring dengan
peningkatan jumlah akademik profesional serta pembentukan cabang ilmu
pengetahuan yang baru sekitar abad ke-19 dan 20, terdapat pula informasi
sejarah baru. Arkeologi, antropologi, dan cabang-cabang ilmu sosial
lainnya terus memberikan informasi yang baru, serta menawarkan
teori-teori baru tentang sejarah manusia. Banyak ahli sejarah yang
bertanya: apakah cabang-cabang ilmu pengetahuan ini termasuk dalam ilmu
sejarah, karena penelitian yang dilakukan tidak semata-mata atas catatan
tertulis? Sebuah istilah baru, yaitu nirleka, dikemukakan. Istilah
“pra-sejarah” digunakan untuk mengelompokkan cabang ilmu pengetahuan
yang meneliti periode sebelum ditemukannya catatan sejarah tertulis.
Pada abad ke-20, pemisahan antara sejarah dan prasejarah mempersulit
penelitian. Ahli sejarah waktu itu mencoba meneliti lebih dar sekadar
narasi sejarah politik yang biasa mereka gunakan. Mereka mencoba
meneliti menggunakan pendekatan baru, seperti pendekatan sejarah
ekonomi, sosial, dan budaya. Semuanya membutuhkan bermacam-macam sumber.
Di samping itu, ahli pra-sejarah seperti Vere Gordon Childe menggunakan
arkeologi untuk menjelaskan banyak kejadian-kejadian penting di
tempat-tempat yang biasanya termasuk dalam lingkup sejarah (dan bukan
pra-sejarah murni). Pemisahan seperti ini juga dikritik karena
mengesampingkan beberapa peradaban, seperti yang ditemukan di Afrika
Sub-Sahara dan di Amerika sebelum kedatangan Columbus.
Akhirnya, secara perlahan-lahan selama beberapa dekade belakangan ini,
pemisahan antara sejarah dan prasejarah sebagian besar telah
dihilangkan.
Sekarang, tidak ada yang tahu pasti kapan sejarah dimulai. Secara umum
sejarah diketahui sebagai ilmu yang mempelajari apa saja yang diketahui
tentang masa lalu umat manusia (walau sudah hampir tidak ada pemisahan
antara sejarah dan prasejarah, ada bidang ilmu pengetahuan baru yang
dikenal dengan Sejarah Besar). Kini sumber-sumber apa saja yang dapat
digunakan untuk mengetahui tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau
(misalnya: sejarah penceritaan, linguistik, genetika, dan lain-lain),
diterima sebagai sumber yang sah oleh kebanyakan ahli sejarah.
Etimologi
Kata “sejarah” secara harafiah berasal dari kata Arab yang artinya
pohon. Dalam bahasa Arab sendiri sejarah disebut (tarikh). Kata “tarikh”
dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah “waktu”.
Historiografi
Historiografi adalah adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi
sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya
terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua
penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di
antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari
sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.
Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah)
yang dikenal dengan sebutan “sejarah virtual” atau “sejarah
kontra-faktual” (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan — atau kontra —
dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara
ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada
apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya
berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.
Metode Kajian Sejarah
Ahli-ahli sejarah terkemuka yang membantu mengembangkan metode kajian
sejarah antara lain: Leopold von Ranke, Lewis Bernstein Namier, Geoffrey
Rudolf Elton, G. M. Trevelyan, dan A. J. P. Taylor. Pada tahun 1960an,
para ahli sejarah mulai meninggalkan narasi sejarah yang bersifat epik
nasionalistik, dan memilih menggunakan narasi kronologis yang lebih
realistik.
Ahli sejarah dari Perancis memperkenalkan metode sejarah kuantitatif.
Metode ini menggunakan sejumlah besar data dan informasi untuk
menelusuri kehidupan orang-orang dalam sejarah.
Ahli sejarah dari Amerika, terutama mereka yang terilhami zaman gerakan
hak asasi dan sipil, berusaha untuk lebih mengikutsertakan
kelompok-kelompok etnis, suku, ras, serta kelompok sosial dan ekonomi
dalam kajian sejarahnya.
Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, ilmuwan posmodernisme dengan
keras mempertanyakan keabsahan dan perlu tidaknya dilakukan kajian
sejarah. Menurut mereka, sejarah semata-mata hanyalah interpretasi
pribadi dan subjektif atas sumber-sumber sejarah yang ada. Dalam bukunya
yang berjudul In Defense of History (terj: Pembelaan akan Sejarah),
Richard J. Evans, seorang profesor bidang sejarah modern dari Univeritas
Cambridge di Inggris, membela pentingnya pengkajian sejarah untuk
masyarakat.
Belajar dari Sejarah
Sejarah adalah topik ilmu pengetahuan yang sangat menarik. Tak hanya
itu, sejarah juga mengajarkan hal-hal yang sangat penting, terutama
mengenai: keberhasilan dan kegagalan dari para pemimpin kita, sistem
perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk pemerintahan, dan hal-hal
penting lainnya dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Dari sejarah,
kita dapat mempelajari apa saja yang mempengaruhi kemajuan dan
kejatuhan sebuah negara atau sebuah peradaban. Kita juga dapat
mempelajari latar belakang alasan kegiatan politik, pengaruh dari
filsafat sosial, serta sudut pandang budaya dan teknologi yang
bermacam-macam, sepanjang zaman.
Salah satu kutipan yang paling terkenal mengenai sejarah dan pentingnya
kita belajar mengenai sejarah ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol,
George Santayana. Katanya: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya,
dikutuk untuk mengulanginya.”
Filsuf dari Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan dalam
pemikirannya tentang sejarah: “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan
pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun
dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.” Kalimat ini
diulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston Churchill,
katanya: “Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa
kita tidak benar-benar belajar darinya.”
Winston Churchill, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar
yang berpengaruh, pernah pula berkata “Sejarah akan baik padaku, karena
aku akan menulisnya.” Tetapi sepertinya, ia bukan secara literal merujuk
pada karya tulisnya, tetapi sekadar mengulang sebuah kutipan mengenai
filsafat sejarah yang terkenal: “Sejarah ditulis oleh sang pemenang.”
Maksudnya, seringkali pemenang sebuah konflik kemanusiaan menjadi lebih
berkuasa dari taklukannya. Oleh karena itu, ia lebih mampu untuk
meninggalkan jejak sejarah — dan pemelesetan fakta sejarah — sesuai
dengan apa yang mereka rasa benar.
Pandangan yang lain lagi menyatakan bahwa kekuatan sejarah sangatlah
besar sehingga tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Atau,
walaupun mungkin ada yang dapat mengubah jalannya sejarah, orang-orang
yang berkuasa biasanya terlalu dipusingkan oleh masalahnya sendiri
sehingga gagal melihat gambaran secara keseluruhan.
Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah tidak pernah
berulang, karena setiap kejadian sejarah adalah unik. Dalam hal ini,
ada banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian
sejarah; tidak mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi.
Maka, pengetahuan yang telah dimiliki mengenai suatu kejadian di masa
lampau tidak dapat secara sempurna diterapkan untuk kejadian di masa
sekarang. Tetapi banyak yang menganggap bahwa pandangan ini tidak
sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah tetap dapat dan harus diambil
dari setiap kejadian sejarah. Apabila sebuah kesimpulan umum dapat
dengan seksama diambil dari kejadian ini, maka kesimpulan ini dapat
menjadi pelajaran yang penting. Misalnya: kinerja respon darurat bencana
alam dapat terus dan harus ditingkatkan; walaupun setiap kejadian
bencana alam memang, dengan sendirinya, unik.
Comments
Post a Comment