RANTE BALLA TEMPO DULU
RANTE BALLA TEMPO DULU
A.
Rante
Balla Secara Geografis
Gambar 1.
Wilayah Desa Rante Balla
Sumber : Google
Earth
Desa Rante Balla
berjarak 36 km dari Ibu kota Kabupaten Luwu, yaitu Belopa. Desa Rante Balla
sendiri merupakan salah satu dari 12 desa yang berada di Kecamatan Latimojong.
Desa Rante Balla membawahi lima dusun, yaitu Dusun Padang, Dusun Lo’ko, Dusun
Rante, Dusun Nase, dan Dusun Minanga. Dusun Minanga merupakan ibu kota desa dan
menjadi pusat pemerintahan Desa Rante Balla.[1]
Pada masa
pemberontakan DI/TII, Rante Balla tidak berstatus sebagai desa tetapi berstatus
sebagai salah satu distrik yang berada di bawah pemerintahan swapraja Luwu.[2]
Status Distrik Rante Balla berakhir sejak tahun 1959 mengikuti surat keputusan
Gubernur dan membuat Rante Balla berubah status menjadi sebuah desa di bawah
naungan Kecamatan Bassesangtempe (Bastem). Dan setelah Kecamatan Bassesangtempe
kembali dimekarkan maka Desa Rante Balla berada di bawah naungan Kecamatan
Latimojong.[3]
“Sekarang sesuai dengan Undang-Undang
No. 29 Tahun 1959, dibubarkanlah status swapraja dan neo-swapraja di seluruh
Sulawesi Selatan dengan membentuk 13 Daerah Tingkat II. Dan yang terakhir
sekali, sebagai lanjutan dari pada Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 tersebut di
atas, maka berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Sulselra tanggal
16 Agustus tahun 1961 No. 1100, dan Surat Keputusan pejabat yang sama tanggal
19 Agustus 1961 No. 2067 A dibubarkanlah semua distrik di seluruh Sulselra
menjadi 186 dengan status Kecamatan”.[4]
Berdasarkan data pada
tahun 2012, “luas wilayah Desa Rante Balla yaitu 112,12 km2”. Dari tabel
yang akan ditampilkan, kita akan menemukan informasi bahwa Desa Rante Balla
adalah desa yang paling luas wilayahnya diantara desa yang lain di Kecamatan
Latimojong.
Tabel
1 :Luas Desa/Kelurahan Dan Jarak
Dari Kota Kecamatan Latimojong Tahun 2012.
No |
Desa |
Luas (Km2) |
Persentase Luas |
Jarak Ke (Km) |
|
Ibu Kota Kecamatan |
Ibu Kota Kabupaten |
||||
1 |
Lambanan |
26,30 |
5,62 |
18 |
46 |
2 |
Buntu
Serek |
46,59 |
9,96 |
14 |
44 |
3 |
Pajang |
19,25 |
4,12 |
14 |
44 |
4 |
Kadundung |
46,36 |
9,91 |
16 |
26 |
5 |
Tobaru |
30,85 |
6,60 |
16 |
26 |
6 |
Ulusalu |
19,56 |
4,18 |
9 |
43 |
7 |
Boneposi |
11,08 |
2,37 |
15 |
44 |
8 |
Rante
Balla |
112,13 |
23,97 |
17 |
36 |
9 |
Pangi |
77,34 |
16,53 |
46 |
45 |
10 |
Tabang |
49,29 |
10,54 |
25 |
41 |
11 |
Tibussan |
20,52 |
4,39 |
17 |
46 |
12 |
Tolajuk |
8,48 |
1,81 |
17 |
45 |
Jumlah |
467,75 |
100,00 |
|
(Sumber:
Kecamatan Latimojong dalam Angka 2012)
Desa Rante Balla
berada di daerah pegunungan Latimojong yang membelah mulai dari daerah
Kabupaten Sidrap hingga Kabupaten Toraja Utara. Karena berada di daerah
pegunungan tentu saja iklimnya sangat sejuk. Dan iklim ini sangat cocok untuk
perkebunan. Selain itu, terdapat sungai-sungai yang beraliran deras yang
melintasi daerah ini. Jika dimanfaatkan dengan baik, Rante Balla mempunyai
salah satu potensi pariwisata yaitu sangat cocok menjadi salah satu tempat yang
baik untuk berolahraga air seperti arung jeram.
Gambar 2. Suasana Desa Rante Balla
Sumber : https://www.mongabay.co.id/2018/06/23/emas-di-kaki-latimojong-berkah-atau-petaka/
Ketika penulis
melakukan penelitian, akses jalan menuju ke desa Rante Balla tergolong sangat
tidak baik. Sebab perjalanan sejauh 36 km yang biasa ditempuh dengan
menggunakan kendaraan bermotor hanya selama 30 menit, tetapi jika menuju Rante
Balla kita harus menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam perjalanan. Hal
ini terjadi akibat kondisi jalan yang rusak dan berlumpur disamping itu medan
jalan yang menanjak menambah sulitnya perjalanan menuju ke daerah ini. Tetapi,
akses jalan menuju ke desa Rante Balla sudah dapat dilalui dengan menggunakan
kendaraan roda empat. Apalagi di tahun 2020 ini sudah lebih baik dibanding pada
saat penulis melakukan penelitian.
Pada masa pemberontakan
DI/TII, daerah Rante Balla menjadi daerah yang penting bagi pasukan gerombolan
maupun TNI oleh karena daerah ini menjadi daerah yang strategis yang dapat
dijadikan markas pasukan. Hal ini didukung oleh letak Rante Balla yang mudah
diakses dan menjadi pintu masuk dari berbagai daerah yang ada di sekitarnya
yaitu daerah Enrekang, Toraja, maupun Luwu. Hal ini akan memudahkan mereka
dalam melakukan pengintaian musuh maisng-masing. Mudah untuk mengawasi
pergerakan pasukan TNI bagi gerombolan dan memudahkan operasi penumpasan
gerombolan bagi pasukan TNI.
A.
Asal
Mula Nama Rante Balla
Pemberian
nama terhadap sebuah daerah tentu mempunyai kisah atau cerita tersendiri.
Pemberian nama daerah biasa dilandaskan atas beberapa hal, yaitu kejadian yang
menimpa atau terjadi di daerah tersebut di masa lampau, letak geografis,
kondisi topografi daerah, ataupun landasan-landasan lain yang tentu terdapat
kaitannya dengan daerah tersebut. Nama sebuah daerah bisa saja dijadikan
sebagai sebuah bentuk monumen peringatan yang merupakan akumulasi dari semua
landasan-landasan atau motivasi pemberian nama daerah tersebut. Rante Balla
memiliki cerita sehingga tersematkan menjadi nama sebuah daerah.
Daerah
Rante Balla yang berada disekitar pegunungan Latimojong beratus tahun yang lalu
merupakan sebuah hutan rimba yang tidak terhuni oleh manusia. Daerah hutan
rimba ini hanya dihuni oleh satwa-satwa liar seperti anoa, babi hutan, ular,
rusa, maupun satwa lainnya. Dari keadaan geografis yang demikian memang sangat
memungkinkan daerah ini menjadi tempat perburuan.
Di
daerah Duri hidup sepasang suami istri yang bernama Puang Rilembong dan
Bulawenna. Pada suatu saat Puang Rilembong bersama pengawalnya yaitu Pong
Sundang, Samboaling serta anjing pemburunya melakukan perburuan ke daerah
pengunungan Latimojong. Menurut R. Tambuku di dalam dokumen pribadinya “Puang
Rilembong beserta pengawal dan anjing pemburunya berlari ke laut mengikuti
sepotong kayu dan tiba di kaki Gunung Latimojong bagian Timur. Setelah lelah
Puang Rilembong pun duduk beristirahat”.[1]
Ada begitu banyak versi mengenai asal mula masyarakat rante Balla. Tetapi dari
sumber yang ada, disebutkan bahwa berasal dari daerah Duri yang saat ini
menjadi wilayah administratif Kabupaten Enrekang.
Gambar
3. Wilayah Baraka (Duri), Kabupaten Enrekang.
Sumber : Google
Earth
Pada
waktu melakukan perburuan tersebut istri Puang Rilembong yaitu Bulawenna dalam
kondisi mengandung. Pada saat Puang Rilembong beristirahat, dia beserta
pengawalnya membuka lahan baru untuk berkebun dan bermukim dengan membakar
rumput-rumput dan bambu yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Mereka menggarap
tanah tersebut dan menanam berbagai macam sayur-sayuran. Tanaman yang mereka
tanam tersebut tumbuh dengan subur.[2]
Nama
Balla pun disematkan kepada daerah ini, hal ini menurut penulis mungkin
didasari oleh karena pada saat membuka daerah tersebut daerah ini dibakar
terlebih dahulu. Sedangkan di dalam bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat Rante Balla kata “balla” ini berarti “terbakar”.
Sedangkan
nama Rante disematkan kepada daerah tersebut karena daerah yang dibakar, permukaannya
rata walaupun berada di kawasan pegunungan. Selain itu tanah yang ada di daerah
tersebut sangatlah subur. Sehingga daerah rata yang rata dan subur yang dibuka
dengan cara dibakar tersebut diberi nama Rante Balla yang sampai saat ini masih
menjadi nama kampung yang ada di daerah tersebut.[3]
Puang
Rilembong berserta pengawal dan anjing pemburu tersebut terus melakukan
perburuan dan bercocok tanam. Jika Puang Rilembong mendapatkan buruan, dia pun
mengirim beberapa bagian hasil buruannya itu kepada istrinya yang mengandung
tersebut dengan perantaraan anjing pemburu yang dimilikinya.[4]
Waktu
terus berlalu dan Bulawenna yang menunggu dengan kecemasan karena Puang
Rilembong yang tak kunjung pulang, berniat menyusulnya ke daerah tempatnya
berburu. Diapun berjalan menyusuri hutan dengan kawalan dan petunjuk dari
anjing pemburu Puang Rilembong yang akan kembali ke daerah tempat perburuan
setelah membawa makanan kepada Bulawenna.[5]
Di
tengah perjalanan di dalam hutan rimba, tibalah saatnya Bulawenna ingin
melahirkan dan dia pun melahirkan seorang bayi perempuan. Karena usianya yang
baru lahir dan tidak memungkinkan untuk dibawa di dalam perjalanan, bayi
tersebut diletakkan di dalam periuk lalu digantung dengan menggunakan akar kayu
di atas pohon rindang yang ditumbuhi banyak akar gantung yang mengandung air.
Selama ditinggalkan oleh ibunya, bayi tersebut mengkonsumsi tetesan air yang
berasal dari akar kayu yang diletakkan sedikit berada di atas badan bayi
tersebut yang tepat mengarah ke mulutnya.[6]
Bulawenna
yang terus melakukan perjalanan dalam rangka mencari suaminya tersebut akhirnya
berhasil bertemu dengan Puang Rilembong. Puang Rilembong menanyakan anak yang
baru dilahirkan oleh istrinya tersebut dan Bulawenna pun mengarahkan bahwa bayi
tersebut berada di daerah Lo’Ko’ Susu (daerah Rante Balla). Puang Rilembong
bersama pengawalnya menghampiri dan menemukan bayi tersebut dan menamainya
Sairi’na.
Seiring
berjalannya waktu, Sairi’na terus tumbuh dewasa dan menjadi seorang gadis yang
sangat cantik. Hingga tiba suatu saat dia bertemu seorang laki-laki yang juga
berburu di daerah Rante Balla yang bernama Emba Bulan. Emba Bulan yang berasal
dari daerah Pangi ini menikah dengan Sairi’na dan menghasilkan keturunan yang
menjadi keturunan pertama orang Rante Balla. Dari pernikahan ini Sairi’na
melahirkan delapan orang anak, yaitu: [7]
1. Lilik
setelah dewasa bermukim di Rante Balla
2. Manya
setelah dewasa bermukim di Bone Lemo
3. Bentuintana
setelah dewasa bermukim di Ponrang
4. Darusa
setelah dewasa bermukim di Bolong (Walenrang)
5. Sandawalang
setelah dewasa bermukim di Larompong
6. Tinoring
setelah dewasa bermukim di Pantilang
7. La’tuka setelah dewasa bermukim di Sangalla’
8. Irik setelah dewasa bermukim di Lembong (Duri)
B.
Kehidupan
Masyarakat Rante Balla
a.
Bidang
Pemerintahan
Pada
Tahun 1950, setelah Negara Indonesia Timur (NIT) bubar maka pemerintah Republik
Indonesia kembali berkuasa dan mengambil alih pemerintahan. Dibubarkannya NIT
tentu memberi imbas terhadap model pemerintahan yang ada di Indonesia. Sistem
pemerintahan di daerah Luwu dikenal sebagai pemerintahan swatantara/swapraja
dan juga Kepala Pemerintah Negeri (KPN) sebagai perpanjangan tangan kuasa
tentara pada saat itu. Pemerintah Swapraja, rajanya adalah Datu Luwu Andi
Djemma sebagai Kepala Pemerintah Republik Indonesia tetapi pelaksana harian
dipegang oleh KPN. KPN terbagi menjadi tiga, yaitu KPN Palopo yang dengan
pimpinan pada saat itu W.L.Tambing, KPN Masamba dengan pimpinan L. Lethe, dan
KPN Makale dengan pimpinan Ch. Rongre.[8]
Rante
Balla yang terletak terletak di Palopo Selatan merupakan salah satu dari
beberapa distrik yang ada di daerah tersebut.[9]
Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik dan dibantu oleh
seorang juru tulis.[10]
Adapun beberapa nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Rante
Balla yaitu Pasande, Palallo, Malasui, Bae’ Pasande, Tiampawa, dan A. L. Kanna.
Pada saat peristiwa Rante Balla terjadi, yang menjabat menjadi Kepala Distrik
Rante Balla adalah A.L. Kanna sedangkan yang menjabat sebagai juru tulis adalah
M.L. Rante. Mereka menjabat hingga masyarakat Rante Balla berada di Rantai
Damai.[11]
Distrik
Rante Balla pada saat itu membawahi 14 kampung yang terdiri atas Kampung Tana
Lobo’, Kampung Nase, Kampung Lemo, Kampung Marua, Kampung Lo’ko, Kampung
Pa’bela, Kampung Tabang, Kampung Boneposi, Kampung Ulusalu, Kampung Buntu
Karua, Kampung Buntu Aruan, Kampung Tibussan, Kampung Paragusi, dan Kampung
Makalua. Adapun kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung yang dibawahi
langsung oleh kepala distrik.[12]
b. Mata Pencaharian
Manusia
akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Entah yang sifatnya
kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Begitu pun dengan masyarakat Rante
Balla selalu melakukan segala sesuatu yang sifatnya memenuhi kebutuhan hidupnya
melalui pekerjaan yang ada sesuai dengan kemampuan masing-masing masyarakat
maupun ketersediaan yang ada di alam.
Pada
umumnya masyarakat Rante Balla sebelum terjadinya peristiwa Rante Balla,
menggantungkan hidupnya kepada apa yang sudah disediakan oleh alam. Digambarkan
bahwa masyarakat Rante Balla hidup dalam makmur dan sejahtera dengan kekayaan
alam yang ada.[13]
Mata
pencaharian masyarakat Rante Balla mayoritas hidup bertumpu pada sektor
pertanian dengan bertani, beternak, maupun berladang. Dalam bidang pertanian,
masyarakat mengandalkan hasil pertaniannya lewat sawah tadah hujan. Padi yang ditanam
pun adalah jenis padi ladang yang cocok untuk keadaan tersebut. Tetapi beberapa
masyarakat yang lain ada juga yang menanam tanaman jagung atau kopi yang memang
cocok untuk iklim pegunungan yang ada di daerah tersebut. Dalam bertani atau
berladang masyarakat cenderung berhuma. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
tanah yang lebih subur yang tentu akan mempengaruhi hasil yang akan didapatkan
dari hasil bertani atau berladangnya.
Dalam
bidang peternakan, masyarakat lebih dominan beternak sapi, kerbau, babi, dan
kuda. Tak jarang ada masyarakat yang bahkan mempunyai 60-100 ekor kerbau.
Sedangkan beberapa yang lain juga memelihara kuda yang digunakan sebagai alat
transportasi. Selain sektor pertanian, beberapa masyarakat yang lain
memanfaatkan kandungan emas yang ada di daerah itu dengan menjadi pendulang.
Proses pendulangan emas yang dilakukan sifatnya masih tradisional.[14]
c.
Pelapisan
Sosial Masyarakat
Setiap
masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam
masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang tinggi terhadap hal-hal tertentu
akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal
lain.
“Selama
dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti
mempunyai sesuatu yang dihargainya, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat
menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai
di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga
keturunan yang terhormat”[15]
Adapun pelapisan sosial masyarakat
Rante Balla, yakni :
a. Parengnge’
b. Tomatua
c. Bunga’
Lalan
d. Panganta’
Kelompok
Parengnge’ menempati tempat tertinggi dalam pelapisan sosial masyarakat Rante Balla
dan menjadi pemimpin di dalam masyarakat adat yang dipimpinnya. Golongan kedua
yaitu Tomatua yang dimaksud adalah orang-orang yang bertindak sebagai dewan
pertimbangan dalam menyelesaikan masalah atau perkara adat. Suatu perkara tidak
dapat diputuskan apabila tomatua tidak hadir. Tomatua juga bertugas sebagai juru bicara. Golongan
ketiga yaitu Bunga’ Lalan yang berperan sebagai penanam pertama jika akan mulai
menggarap sawah. Golongan ini juga yang berhak makan pertama kali apabila
diadakan pesta panen. Golongan yang keempat yaitu Panganta’ yang berperan
sebagai pembawa bibit yang nantinya akan ditanam oleh Bunga’ Lalan. Susunan
lapisan sosial masyarakat dalam menjalankan perannya tak dapat diganti atau
ditukar.[16]
Tetapi, beberapa pemuka adat Rante Balla mengatakan bahwa golongan Panganta’
tidak ada dalam struktur pelapisan sosial masyarakat. Dan tentu, perlu kajian
yang komprehensif di masa mendatang untuk melakukan kroscek terhadap pelapisan
ini. Dari catatan tulisan tangan
Lalong Langi Pasande penulis juga mendapatkan bahwa dalam struktur masyarakat
adat Rante Balla, terdapat juga golongan Anak To Patalo yang merupakan anak
dari bangsawan Rante Balla.[17]
Secara spesifik, belum secara jelas penulis mendapatkan informasi bagaimana
peranyang dijalankan oleh golongan ini.
Karena
masyarakat Rante Balla adalah masyarakat adat, tentu dalam pembagian wilayah
dalam memfungsikan peranan adat tersebut memiliki wilayah masing-masing.
Berikut gambaran wilayah keparengesan di Rante Balla.[18]
a. Masyarakat
adat keparengesan Tabang dan Lantio yang terletak dibagian utara Rante Balla.
b. Masyarakat
adat keparengesan Lemo dan Kandeapi yang terletak dibagian tengah Rante Balla.
c. Masyarakat
adat kemadikaran Ulusalu yang terletak dibagian selatan Rante Balla.
d. Masyarakat
adat keparengesan Ke’pe dan Sikapa yang terletak dibagian tengah dan utara
Rante Balla.
d.
Agama
dan Kepercayaan
Masyarakat Rante Balla dalam kehidupan beragamanya sangatlah tekun dan saling rukun satu sama lain. Secara umum, agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Rante Balla yaitu Agama Kristen Protestan, Agama Islam, dan Kepercayaan Aluk Todolo. Dari 14 kampung yang ada di Rante Balla, tujuh kampung yaitu Kampung Tana Lobo’, Kampung Nase, Kampung Lemo, Kampung Marua, Kampung Lo’ko, Kampung Pa’bela, Kampung Tabang, mayoritas beragama Kristen Protestan. Sedangkan tujuh kampung yang lain yakni Kampung Boneposi, Kampung Ulusalu, Kampung Buntu Karua, Kampung Buntu Aruan, Kampung Tibussan, Kampung Paragusi, dan Kampung Makalua mayoritas beragama Islam. Sisa masyarakat yang tidak beragama menganut kepercayaan Aluk Todolo.[19]
Disadur dari Buku "Rante Balla Kepingan Mozaik DI TII di Tana Luwu" Karya Ines Pradhana Ruso. Penerbit Stars Lub
Comments
Post a Comment