TIBA DI RANTAI DAMAI
Tak
lama berselang atas diplomasi dan komunikasi yang intens yang dilakukan oleh
Kepala Distrik Rante Balla bersama masyarakat, Datu Luwu akhirnya datang
mengunjungi para pengungsi.[2]
Dalam tahun 1956, para pengungsi Rante Balla yang ada di daerah tersebut
akhirnya ditetapkan menjadi anggota transmigrasi lokal oleh pemerintah. Mereka
diberikan tanah oleh pemerintah yang penyalurannya melalui Kepala Distrik Rante
Balla, A.L. Kanna dan kemudian A.L. Kanna menyerahkan tanah itu kepada
tiap-tiap kepala kampung untuk dibagi kepada seluruh rakyat yang termasuk anggota
transmigrasi lokal. Sebelum dibagi, oleh juru ukur dari kantor transmigrasi
Propinsi Sulawesi Selatan mengukur lebih dahulu dan meletakkan patok batas
tanah yang diberikan pemerintah kepada masyarakat transmigrasi. Kondisi tanah
atau daerah yang diberikan tersebut masih berupa hutan rimba.[3]
Sejak
saat itu pula daerah yang diberikan oleh pemerintah tersebut di beri nama
Rantai Damai. Kata Rantai diambil dengan berpijak pada benda rantai yang
terbuat dari baja atau besi yang saling bersambung satu sama lain dan sangat
kokoh yang memberi arti ikatan rakyat antara pemerintah yang tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan kata damai diambil dari suasana damai yang sejalan dengan
kondisi keamanan di daerah tersebut yang sudah aman setelah sebelumnya para
pengungsi ini hidup dalam ketidaktenangan dan ancaman dari pasukan gerombolan.[4]
Bulan
Maret tahun 1956, Gubernur Sulawesi Selatan yang pada saat itu dijabat oleh
Andi Pangerang Pettarani melakukan peninjauan di Kota Palopo. Atas usaha
pemerintah daerah dan swapraja, Gubernur akhirnya berkenan memenuhi undangan
untuk meninjau para pengungsi di Distrik Walenrang. Pada saat itu Distrik
Walenrang merupakan daerah penampungan para pengungsi yang paling banyak. Gubernur
merasa sangat senang melihat keadaan pengungsi di tempat tersebut dan mengakui
bahwa pengungsi di daerah itu adalah pengungsi yang paling baik di Sulawesi
Selatan. Hal tersebut dikarenakan perkampungan mereka sudah teratur dengan baik
dan kemakmuran di daerah tersebut sudah mulai tampak karena pada saat itu sudah
mulai berkebun dan memasuki masa panen.[5]
Pada waktu itu juga Gubernur menyerahkan uang kepada anggota transmigrasi
dengan maksud untuk pembayaran ganti rugi jika ada tanah milik orang lain di
dalam lokasi tersebut serta digunakan untuk pembuatan rumah yang layak bagi
anggota transmigrasi.[6]
Pemerintah
tak lepas tangan setelah hal itu, mereka masih memberikan bahan pangan,
memberikan alat dapur, bahkan alat pertanian dengan syarat bantuan itu hanya
berlangsung selama enam bulan. Benar saja, setelah enam bulan masyarakat sudah
benar-benar mandiri dengan sawah atau kebun olahan mereka.[7]
Tahun
1957, pengungsi Rante Balla yang masih ada di Bajo, akhirnya dipindahkan ke
daerah Rantai Damai bergabung dengan pengungsi yang sudah ada. Pengungsi
tersebut akhirnya dipindahkan bersama dengan penduduk asli Bajo karena tentara
yang bertugas di daerah Bajo sudah sudah tidak dapat mempertahankan daerah
tersebut dari serangan pasukan gerombolan. Beberapa pengungsi ini tidak mengikuti
pengungsi lainnya berpindah oleh karena mereka masih berharap dapat kembali ke
Rante Balla setelah keadaan aman, tetapi
hal itu tidak terwujud.[8]
Adapun
beberapa data pengungsi yang dapat dilacak di mana pengungsi ini ikut berpindah
ke Rantai Damai dan menetap di Rantai Damai sebagai berikut.
Tabel
3. Daftar Nama Pengungsi Rante Balla ke Rantai Damai.
NO |
NAMA PENGUNGSI |
NO |
NAMA PENGUNGSI |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 |
A. L. Kanna M. L. Rante A. Rallang S. Tandisau So’Iri Ruso Alfius Tattong Pese Paaru Singkun Tanari Salama’ Kendek Pando Duma’ Pong Alling Rasina Gatti Siamping Ne’ Malla Ne’ Lapa |
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 |
Bangga Pageno Moni Indo’ Rallang Poi’ Pala Baranda Jaramantang Tinoro Jongke Pong Parego Pong Rabu Pong Tangngala Ambe’ Laping Ambe’ Tappi Indo’ Burean So’ Ladan Ambe’ Nyara Indo’ Rallu Sirau Lele Satu Tangnga |
(Sumber: Arsip T.Pagundun)
Kehidupan
masyarakat setelah itu kembali berjalan dengan normal. Di dalam kampung mereka
tersebut, mereka mulai membangun rumah ibadah baik Gereja maupun Masjid yang
digunakan untuk beribadah dengan rukun.[9]
Masyarakat dalam kehidupan masyarakatnya juga mengedepankan gotong royong,
misalnya saja pengairan untuk mengairi sawah yang ada hingga saat ini dibangun
secara bergotong royong oleh masyarakat.[10]
Bahkan
beberapa pemuda yang ada, turut bergabung dengan TNI dalam proses pemulihan
keamanan.[11]
Selain itu, hal positif lain yang dirasakan setelah berada di daerah Rantai
Damai adalah anak-anak atau masyarakat sudah dapat mengenyam pendidikan dengan
baik. Hal itu dikarenakan sewaktu berada di Rante Balla daerah ini masih
tergolong daerah pedalaman sehingga akses untuk bersekolah sangat jauh dari
kampung dan harus ditempuh dengan berjalan kaki sehingga hanya kalangan
tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan. Demikianlah masyarakat Rante
Balla hidup dengan makmur dan aman di daerah Rantai Damai ini.
Untuk
mengenang proses perjalanan pengungsian masyarakat Rante Balla ke Rantai Damai
tersebut, dibangunlah tugu yang lokasinya tepat berada di depan kantor kepala
desa Rantai Damai saat ini. Tugu ini dibangun pada masa pemerintahan Lalong
Langi Pasande sebagai kepala desa Rantai Damai. Tahun 1957 yang tertera pada
tugu tersebut, menandakan tahun resmi masuknya gelombang pengungsian masyarakat
Rante Balla di Rantai Damai.[12]
Disadur dari Buku "Rante Balla Kepingan Mozaik DI TII di Tana Luwu" Karya Ines Pradhana Ruso. Penerbit Stars Lub.
Gambar 6.Tugu
Pengungsian Yang Berlokasi di Desa Rantai Damai.
Sumber
Comments
Post a Comment